SOMETIMES
Siang ini begitu panas. Ingin rasanya cepat sampai di rumah. Tapi melihat kepulan asap kendaraan juga debu jalanan yang bercampur baur dengan membludaknya siswa-siswi sekolahku yang mungkin berkeinginan sama denganku, rasanya jadi malas pulang. Hari ini hari kamis. Sebenarnya jadwalku bimbel. Tapi mana konsen jika cuacanya tak mendukung seperti ini. Paling hanya beberapa orang saja yang datang. Lagi pula aku sedang tak mood hari ini. Setelah bel pulang sekolah satu jam yang lalu, aku masih saja duduk di taman sekolah, menunggu moment yang pas untuk ku langkahkan kakiku ini ke rumah. Karena tempat yang berada di depan kelasku inilah yang kurasa cocok untuk menghindar dari sengatan panas sang surya.
Tiit! Tit! Terdengar suara klakson motor yang menuju ke arahku, mengisyaratkan bahwa pengendaranya ingin menyapaku. Kak Farhan?? Sebuah senyuman merekah di bibirnya. Manisnya! Tentu saja senyuman itu untukku. Aku yakin dia akan mengajakku naik di motornya. Mana mungkin dia tega membiarkanku sendiri di sini.
“Assalamu’alaikum..duluan ya, Ara”. Pria berjenggot tipis itu melaju meninggalkanku yang jelas saja merasa sebel, jengkel, dongkol dan segala antek-anteknya karena diperlakukan seperti itu. Katanya anak Rohis? Masa nolong orang aja ogah!
Belakangan ini aku memang menaruh perhatian pada alumni Rohis yang sering datang ke sekolahku itu. Kebetulan dia satu angkatan dengan mbak Ina yang juga pernah mengikuti eskul yang sama. Walaupun mbak ku dulunya nggota Rohis, tapi aku tak mengikuti jejaknya. Aku kan bukan cewek yang mesti dibatasi dengan kudungan. Aku malah ikut bergabung bersama komunitas pecinta alam sebagai penyaluran hobiku yaitu naik gunung. Tapi meski demikian, aku sudah dikenal oleh banyak dari teman-teman mbak Ina. Ini karena mereka sering mengadakan rapat di rumah mbak Ina yang tak lain adalah rumahku juga. Dari sini pulalah aku mengenal sosok kak Farhan. Kurasa hanya butuh satu kata untuk ungkapkan opiniku tentang dirinya . sempurna! Tapi aku heran kenapa dia tadi perlakukan aku seperti itu?
“ Ngapain ra, sendirian aja!” tiba-tiba saja orang yang sangat ku kenal muncul di belakangku dengan motor birunya. Dimas!
“ Duh, Mas panas ni, gue numpang lo, ya?”
“ Boleh deh”
“ Asyik!!”
Niatku ingin di bonceng kak Farhan, malah jadi cucunguk ini yang mengajakku. Tak apa lah! Lumayan!
“ ujian akhirmu kapan, Ra?” Tanya mbak Ina ketika aku membantunya membereskan buku-buku di kamarnya.
“ 2 minggu lagi…”
“ emm.. ngomong-ngomong mbak udah pernah jatuh cinta belum sih?” tanyaku malu-malu.
“ Udah dong, mbak jatuh cinta setengah mati ama adik mbak yang satu ini”. Jawab mbak Ina seraya mengelus-elus kepalaku.
“ maksud Ara sama cowok mbak…pernah enggak?”
“ Pernah”.
“ sama sapa mbak?” tanyaku penasaran. Mbak Ina mesem.
“ sama ayah!”
“ mbak….Ara serius!!”
“ kenapa sih nanyanya begituan? Jangan-jangan…kamu lagi jatuh cinta ya?” aku tersenyum malu.
“ Kalo cewek ngungkapin cinta itu salah gak sih, mbak?” tanyaku lagi.
“ gak juga. Asal tujuannya bener, langsung nikah! Rasul aja dilamar Siti Khadijah duluan, tapi kalo orangnya kamu sih gak bener, Ah! Ujian akhir aja belum kelar, udah mikirin nikah-nikah segala”.
“ Duh, mbak, tujuan Ara itu bener kok, Ara kan pengen wujudin cita-cita Ara, bisa dapetin cowok yang tipenya 3T”.
“ 3T??” Dahi mba Ina mengkerut.
“ Tampan! Tajir! Taqwa!”
“ dasar kamu!”
“ Eh, ini buku apaan, mbak?” tiba-tiba hatiku sangat tertarik ketika melihat salah satu buku mbak Ina yang berjudul Sang Bidadari ini. Yang membuatku merasa unik adalah mengapa cover yang seharusnya sesuai dengan judulnya malah berdarah-darah begini? sungguh membuatku penasaran untuk membacanya.
“itu tentang para wanita yang mati syahid di palestina sana. Ceritanya sedih banget deh, Ra. Kalo mau baca jangan sekarang-sekarang, tunggu sampai ujianmu selesai!”
“Iya..iya..udah beres kan, mbak? Ara pengen ke kamar ah! Ngantuk!” kulangkahkan cepat kakiku ke kamarku yang letaknya percis di samping kamar mbak Ina. Sebenarnya aku sama sekali tak mengantuk. Aku hanya ingin sendiri di kamar. Melamun. Entah mengapa, selalu saja wajah kak Farhan yang ada di benakku. Apa aku memang benar-benar telah jatuh hati pada laki-laki berparas tampan itu? Tampan? Dia memang sangat tampan..lebih tampan dibanding Dude Harlino sekalipun. Ya ampun! Bisa gila jika kubiarkan ini terus menerus! Ku dengar ponselku berdering. Sebuah pesan singkat masuk. Dari Rani.
Lagi ngapain, Ra? BT nih belajar terus, pusing gue!
Lagi mikirin kak Farhan balasku
3 menit kemudian kami jadi saling berbalas pesan.
Dari dulu bisanya mikirin terus, payah lo!
Terus mesti ngapain gue?
Tembak dong!
Gila, mana berani gue, bisa rendah harga diri kalo ditolak!
Ah, cemen lo, Ra!
Bantuin gue dong, Ran!
Ok deh. Apa sih yang gak buat lo, kapan beraksi?
Abis UAN gimana?
Gue tunggu! Balasan sms terakhir dari Rani. Selanjutnya aku tak meresponnya lagi.
2 minggu telah berlalu. 3 hari lagi aku harus menempuh ujian akhir. Ini berarti sebentar lagi pula aku akan bebas. Bebas dari belajar yang sudah menjadi makanan pokok sehari-hari demi bisa mendapatkan 1 kata tertera pada ijazahku nanti, LULUS! 3 hari ini kuputuskan sebagai hari tenang. Tak ada bahasa Indonesia, bahasa Inggris apalagi matematika. Aku jadi teringat dengan buku mbak Ina yang belum sempat kubaca tempo hari. Tak sabar, langsung saja kuambil buku berwarna merah hitam yang kutaruh di dalam laci samping ranjangku. Ku buka lembar demi lembar. Benar kata mbak Ina, isinya tentang kumpulan kisah para wanita pejuang Palestina. Aku tertarik dengan kisah nomor 7. ku buka langsung ke halaman 98. kata per kata aku baca, kalimat demi kalimat aku resapi hingga aku tak bisa merasakan apa-apa lagi. Semuanya menjadi gelap.
“ ara.., ara..ara…”
“ara…, hei, bangun sayang! Kamu kenapa?” mataku terbuka perlahan, ku lihat mbak Ina di hadapanku. Langsung ku peluk tubuh mb ak Ina erat-erat sambil menangis sekeras-kerasnya.
“ kamu kenapa sih, mimpi buruk ya?”
“ ara takut mbak..ara takut banget!”
“ iya..iya minum dulu nih! Lain kali sebelum tidur tuh baca do’a dulu yah, itu bisa menghindarkan kita dari mimpi buruk. Liat aja tuh, mimpi ampe keringet dingin kaya begitu”. Aku tak peduli apapun yang mbak Ina katakan. Ku peluk lagi mbak Ina yang belum menyelesaikan kata-katanya. Air mataku terus saja mengalir.
“ mbak…,ara pengen ikutan pengajian yang pernah mbak ajakin dulu”, pintaku yang masih saja menagis.
“ alhamdulillah….”
Hari ini hari pertama ujian akhir. Hari pertama pula ku mulai hariku dengan sesuatu yang baru. Bismillah…aku pakai jilbab! Setelah ku diskusikan ini bersama mbak Ina pada ayah dan Ibu, alhamdulillah, mereka sangat mendukungku. Terlebih ayah yang berjanji ingin menghadiahiku banyak jilbab pada ultahku bulan ini, senangnya! Di sekolahpun sepertinya aku disambut baik oleh teman-teman. Terutama teman-teman rohis. Walaupun aku bukan bagian dari mereka tapi mereka tak henti-hentinya membaca tasbih dan hamdalah setiap kali ku lewat di hadapan mereka. Suasana memang agak heboh saat pertama kali kumasuki gerbang sekolah yang tak lama lagi akan ku tinggalkan ini, pasalnya seluruh penghuni sekolah sudah mencapku sebagai cewek yang nakal, agresif dan segudang kejelekan lainnya. Tidak aneh, kebanyakan dari mereka sempat tidak mengenaliku.
“ eh, Ara jadi keliatan cantik, ya?” terdengar komentar salah satu dari 5 anak yang sedang berkumpul ketika ku masuki ruang kelas ujian. Aku malu sekali. Kurasa aku ingin cepat-cepat bertemu Rani dan berbagi rasa maluku ini dengannya.
Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah, aku bisa menyelesaikan soal ujian lebih cepat dari teman-teman. Setelah ku periksa, langsung ku berikan jawaban soalku pada pengawas ujian. Aku harus cepat-cepat keruang ujian Rani yang kulihat sudah banyak siswa-siswinya yang selesai. Tapi tak kutemukan sahabatku di sana! Mengapa dia tak menungguku? Ah, mungkin dia belum jauh. Aku langsung berlari sambil ku tengokan pandanganku ke sekeliling sekolah mencari batang hidung sahabatku itu.
“ Aduh! Eh, maaf yah gak sengaja”, tubuhku menabrak punggung seseorang dihadapanku. Oops, kak Farhan!! Ya Allah, aku malu sekali. Aku langsung berlari lagi tanpa melihat ekspresi wajah kak Farhan. Dia pasti marah padaku. Peduli amat! Yang kupedulikan hanya keberadaan Rani yang akhirnya berhasil ku temukan dia di depan gerbang sekolah, sepertinya Ia sedang menunggu bis angkutan. Aku berlari menghampirinya, menepuk punggungnya sambil mengatur nafasku yang terengah-engah, kelelahan.
“ kok ninggalin sih?” tanyaku pada Rani masih terengah-tengah. Rani tak menjawab Ia malah asyik dengan lollipopnya.
“ kamu liat gak,Ran, ada yang beda loh dari aku?” tanyaku sambil melebarkan jilbabku pada Rani. Tapi Rani tetap diam. Dia masih asyik dengan lollipopnya. Tidak biasanya dia seperti itu.
“ Ran, kok diem aja sih?” kali ini sahabatku itu bereaksi. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya. Senyuman ketidaksukaan!
“Rani gak suka ya, aku pake jilbab?”
“ Cupu, lo!” ketus Rani sambil membuang lollipopnya. “rajin bener lo gerah-gerahin diri pake jilbab segala? Lo tuh cantik, Ra! Kulit lo mulus, ngapain juga lo tutupin, aneh! Emang lo anak Rohis apa? Anak Rohis aja gak semuanya bener lah. Lo tau gak, kemaren gue liat si Adit boncengan ma si Safira. Dia ketua rohis kan? Gak nyangka, demen juga ma cewek cantik! Udah deh gak usah sok alim-aliman. Munafik!” angkuh Rani.
“ Rani…” lelehan air mataku membasahi jilbab putih baruku. Kakiku rasanya tak kuasa menahan bobot tubuh ini. aku tak menyangka Rani berkata seperti itu. Hatiku sungguh sakit mendengarnya.
“ denger gue, Ra! Gue gak mau lo jadi teriket kaya gini. Lo pasti gak jadi nembak kak Farhan gara-gara ini kan? Udah, buka aja ya..lo gak mau kan ngorbanin kak Farhan Cuma karna lo pake jilbab ginian, kan?” ucap rani agak halus dari sebelumnya.
“ Ran,.. sama sekali aku gak ngerasa teriket kok, lupain tentang kak Farhan, aku ngerasa nyamaaann..banget dengan jilbab ini. aku pengen kamu ngerasain ini juga. Kita ibadah sama-sama yah…” kurangkul pundak Rani dengan kedua tanganku.
“ Aahh BULLSHITT!! Terserah lo! Gue gak mo jadi orang munafik kaya kalian! Dan perlu lo inget, Ra! Kita bukan sahabat lagi!” dorongan Rani membuat tubuhku jatuh ke tanah. Sakit! Tapi hatiku lebih sakit melihat sahabat tercintaku seperti ini. Rani berlari meninggalkanku di tengah orang-orang yang melihat pertengkaran kami.
“ Rani tunggu!”
“ Ran, Awaassssss..!!!!” Brak!! Belum sempat ku berdiri mencegahnya pergi, tapi tubuh Rani sudah berguling-guling di jalan tertabrak mobil yang melarikan diri itu. Aku langsung berlari kencang menuju Rani, diikuti orang-orang yang tadi mengerumuniku. Ku senderkan tubuh lemah Rani yang berceceran darah di pangkuanku.
“ Astaghfirullah.. Ran, sabar ya, insya Allah ambulannya bentar lagi datang” ucapku dengan cucuran air mata yang kian deras.
“ Ra, gu..gua duk..kung, lo” ucap rani terbata-bata sambil perlahan mengusap air mataku.
“ maaf..in gu,,gue, Ra”, aku bahagia sekali mendengar ucapan itu. Dengan senyuman ku peluk tubuh sahabatku itu untuk kesekian kalinya.
“ Ra..”
“ udah Ran, gak usah ngomong lagi ya, kita tunggu ambulannya datang, kamu harus bertahan, buat aku, buat persahabatan kita”.
“ gue.. sa..say..ang lo”. aku Rani padaku untuk terakhir kalinya..
“ Raniiiiiiiiiiiiiii……..”.
Oh Tuhan, sepenggal hatiku telah pergi tuk selamanya…
Kejadian itu memang sudah 2 tahun berlalu, namun akan ku ingat terus di hatiku. semenjak kepergian Rani, aku semakin bersemangat untuk merubah diriku, tentu menjadi lebih baik! Jilbabku sekarang sudah sepanjang mbak Ina. Alhamdulillah.., ini semua karena hidayah Allah. Saat ini kusibukkan hari-hariku bersama anak-anak yang kurang mampu di sekitar lingkungan rumahku, mengajari mereka berbagai hal semampuku. Aku memang tak melanjutkan kuliah. Padahal aku hampir saja menjadi mahasiswa di sebuah PTN di semarang. Tapi kupikir anak-anak itu lebih penting. Aku bisa saja melanjutkan kuliah kapanpun aku mau. Tapi tak ada yang bisa menjamin masa depan mereka nantinya. Aku bersyukur ayah dan ibu bisa mengerti keinginannku ini. mbak Ina tentu selalu mendukung keputusan adiknya selama itu baik.
Sejenak aku melihat bayangan seorang gadis di cermin. Gadis yang kini telah dewasa. Gadis yang hidupnya sekejap berubah ketika Ia membaca sebuah buku yang telah berhasil menyentuh hatinya. Akukah itu? Kupandangi tubuhku dari ujung kaki hingga atas kepala. Aku memang sudah berbeda… Oh, Rabbi, apakah akan ada sesuatu hal lagi yang akan bisa membuatku lebih dekat dengan Mu?
Ku dengar lonceng jam dinding kamarku berbunyi. Pukul 6 sore. Sudah waktunya shalat maghrib. Kuingat pesan ibu untuk menyuruhku berdandan malam ini. Akan datang tamu spesial katanya. Entah siapa. Ah, mungkin teman ibu yang berkunjung kemari. Lagi pula mengapa aku harus berdandan segala ? tok..tok..tok suara ketukan pintu kamarku diiringi suara panggilan ibu yang berulang kali memanggil namaku terdengar keras di luar sana. Tak ada jawaban. Karena aku sedang menikmati kekhusyukan dalam shalatku. Ibu yang mengerti aku dan selalu paham dengan kondisi anaknya itu kembali mengetuk pintu kamarku 10 menit kemudian. Kali ini kubukakan pintu untuknya.
“ udah selesai shalatnya ?”
“ alhamdulillah. Ada pa, bu?” tanyaku sambil melipat mukena yang baru selesai ku pakai.
“ kok belum dandan? Bentar lagi tamunya datang loh!”
“ ah ibu ini, ibu yang dikunjungi kenapa aku yang dandan”.
“ ini tamu kita sekeluarga, mbak Ina dan ayah aja udah siap dari tadi”.
“ siapa sih, bu? Spesial banget kayaknya..”
“ liat aja nanti..” kerlingan mata ibu semakin membuatku penasaran. Tapi ibu malah pergi tanpa menjawab pertanyaanku terlebih dahulu.
Satu jam kemudian semuanya sudah terlihat rapi. Ayah, ibu ,aku dan mbak Ina mengenakan busana keluarga berwarna biru. Makanan sudah dihidangkan di meja makan. Suasana terasa sangat formil. Tapi tak ada yang tahu siapa tamu spesial itu, kecuali ayah dan Ibu tentunya. 5 menit kemudian suara bel rumahku berbunyi menandakan tamu spesial itu sudah datang, mungkin. Deg, mengapa tiba-tiba jantungku berdegup kencang begini ? ayah dan ibu menyambut kedatangan mereka di pintu depan. Sementara aku dan mbak Ina berdiri dibelakang ayah dan ibu. Kulihat mereka datang bertiga, sepasang suami isteri dan seorang anak perempuan.
“ mana jagoanmu itu, Tih?” Tanya ibu ketika menyalami teman lamanya.
“ lagi markir mobil di depan”.
“ Assalamu’alaikum…”, sapa seorang pemuda dari balik pintu.
“ wa’alaikum salam…”, semua penghuni rumah menjawab salamnya kecuali aku yang terkejut setengah mati melihat kedatangan seorang pria yang sudah tak asing lagi bagiku itu. Kak Farhan?? Benarkah ini, untuk apa laki-laki itu datang ke rumahku bersama keluarganya? Mulutku terus saja menganga. Kulihat wajah mbak Ina di sampingku, sepertinya Ia pun terkejut sama seperti aku. Tapi seakan Ia lupa bahwa ada aku di sampingnya. Jangan-jangan…biarlah! Toh ini sudah waktunya bagi mbak Ina. Lagi pula kurasa kak Farhan adalah laki-laki yang tepat untuk menjadi pendamping dirinya. Sekejap mataku beradu pandang dengan kak Farhan. Ces! Langsung kutundukan wajahku cepat-cepat. Astaghfirullah…
“ maksud kedatangan kami kemari adalah tak lain untuk menjalin silaturrahmi”. Ucap ayah kak Farhan membuka pembicaraan. Semua orang serius mendengarkan
“ silaturrahmi yang Insya Allah akan mengikat tali kekeluargaan kita lebih erat”.
“ mungkin langsung aja…Ara, maukah kau menerima pinangan anak Om, Farhan?” pertanyaan ayah kak Farhan seketika membelalakan mataku, tak percaya. Bukankah seharusnya…kulihat wajah mbak Ina tersenyum kepadaku. Ayah dan Ibu pun demikian. Sementara kak Farhan masih dengan tundukan wajahnya.
“ ara..ara bingung, om!” ucapku masih tak percaya.
“ ara, keputusan ada di tangan ara, ayah Ibu insya Allah setuju”. Ucap Ayah menambah kebingunganku.
“ kak Farhan, apa kakak mau menunggu jawabanku? Ara pengen istikharah dulu, Insya Allah minggu depan”.
“ Insya Allah”, kak Farhan tersenyum. Oh Rabbi, hatiku meleleh…
Setelah semua acara selesai, keluarga kak Farhan mohon pamit. Aku mengikuti ayah, ibu dan mbak Ina untuk mengantarkan mereka hingga gerbang rumah. Mataku terus saja menunduk. Malu! Melihat ke atas sedikit saja pasti magnet-magnet iblis itu langsung menempelkan pandanganku dengan kak Farhan. Aku langsung berlari ke kamar ketika mereka telah pergi. Tanpa peduli mbak Ina yang terus saja memanggilku. Rabbi, mimpikah ini? sejak dulu aku memang masih menaruh hati padanya. Tapi apa aku harus menerimanya sebagai…Ah, aku malu mengakuinya. Aku jadi teringat kata-kata Rani dulu, ternyata dia menentang jilbabku hanya karena dia cemburu pada Adit. Ketua Rohis yang dipergokinya naik motor berdua dengan teman satu kelasnya. Aku takut salah memilih…
“ Assalamu’alaikum, Ara, boleh mbak masuk?” Tanya mbak Ina sambil membuka pintu kamarku yang lupa kukunci. Aku mengangguk.
“ lagi mikirin apa sih, calon pengantin ini?”
“ mbak, ara benci sama kak Farhan. Kenapa dia gak milih mbak aja yang udah mateng dan siap buat menikah. Kenapa harus aku?”
“ gak boleh gitu, ah! Mungkin dia punya alasan. Atau bisa saja kalian memang berjodoh..”
“ tapi mbak, ara takut…”
“ istikharah lah, ara percaya kan sama Allah?”
“ pasti dong, mbak”.
“ Insya Allah, Allah akan kasih yang terbaik buat adik mbak yang shalihah ini…”
“ syukron mbak…” kupeluk tubuh mbakku ini erat-erat. Rabbi, berikan lah Ia segera jodoh yang terbaik untuknya…
Ponselku bergetar. 1 pesan singkat masuk dari kak Farhan.
Ukhti, taukah engkau, aku ingin meminta agar Allah lebih cepat memutar siang dan malam supaya kau bisa cepat-cepat menjadi yang halal bagiku.
Aku tersenyum membaca pesan itu, kubalas:
Jagalah hatimu,kak. Insya Allah akupun demikian. Tapi jika kita jaga ikatan ini tetap suci, tentu Allah akan lebih meridhai kita, bukan?
5 menit kemudian muncul pesan lagi, balasan dari kak Farhan:
Kau selalu saja memebuatku gemas. apakah seumur hidupmu kau akan terus memanggilku kakak?
balasku.
Besok adalah hari pernikahanku. Malam ini kuputuskan untuk tidur bersama mbak Ina di kamarnya.
“ besok jadi pengantin kok tidurnya masih pengen ditemenin sih?” goda mbak Ina saat aku tidur disampingnya.
“ malam ini mungkin malam terakhir ara bisa tidur berdua ama mbak Ina,,,”.
“ kok ngomongnya gitu sih? Kapan-kapan minta izin dong ama kak farhan supaya kita bisa tidur bareng lagi”.
“ mbak bahagia gak punya adik kaya Ara?”
“ jelas dong adikku yang manis”, mbak Ina mencubit pipi cabiku. Aku merintih kesakitan.
“ ara juga bahagia banget punya kakak kaya mbak. Kalo Allah takdirin ara hidup lagi, ara pengen jadi kaki sama tangan mbak yang siap nolong mbak kapanpun dan dimanapun”, mbak Ina mengecup keningku penuh kelembutan. Air mataku menetes.
“ ara boleh minta 2 permintaan gak, mbak?”
“apapun itu, sayang”, ucap mbak Ina setengah mengantuk.
“ pertama, ara pengen pas mbak tidur, mbak peluk ara”, mbak Ina langsung memelukku, padahalkan kuminta nanti. Sepertinya dia sudah sangat mengantuk.
“ yang kedua…..seandainya mbak besok gak bisa liat ara lagi, ara pengen mbak gantiin ara nemenin kak Farhan, ya?” mbak Ina diam..
“mbak…”, masih tak ada jawaban dari mbak Ina. Dia sudah tertidur pulas.
“ Ara sayang banget sama mbak Ina”, aku menangis.
“ titip surat ini buat kak Farhan ya, mbak”, ku selipkan sebuah surat di jemari mbak Ina. Kucium kening dan kedua pipi mbak Ina dengan cucuran air mataku. Ku tinggalkan mbak Ina, ayah, ibu……dan kak Farhan.
Untuk kak Farhan
seorang hamba yang telah kusakiti hatinya…
Duhai laki-laki yang mulia akhlaknya..
Sungguh merupakan anugerah terindah yang Allah hadiahkan pada orang yang penuh kealfaan seperti diriku bisa memiliki pangeran sesholeh dirimu..
Yang akan menjadi imam bagiku dan anak2ku..
Yang akan menjadi penentu syurga atau nerakakah aku nantinya…
Yang akan menjadi pangeran tidur dalam setiap malam-malam ku…
Yang akan kucium tangan dan ku kecup keningnya…
Yang akan kujaga harta dan cintanya segenap jiwa dan ragaku…
Kak Farhan…
Bukankah setiap insan akan merasakan kematian? Bukankah harta, jodoh dan ajal adalah kehendak Allah yang tak ada satupun makhluk-Nya yang tahu bahkan malaikat sekalipun?..Setiap orang punya jalan kematiannya sendiri-sendiri. Akupun demikian..aku ingin kematianku dicatat malaikat sebagai penebus dosa-dosa yang ku lakukan selama hidupku. Biarlah semuanya ku korbankan untuk Allah dan Rasul-Nya termasuk merasakan nikmatnya syurga dunia ketika aku bisa hidup bersamamu.
Kak Farhan…
Diam-diam aku mendaftar menjadi salah satu peserta yang akan dikirim ke Palestina sebagai petugas kesehatan. Mungkin ini sudah menjadi jalanku, aku diterima! Sayangnya informasi ini baru kudengar ketika satu hari sebelum pernikahan kita..
Kau tau, bisa pergi ke Al-Quds adalah impian teragungku,karena pertama kali aku bisa merasakan terangnya cahaya iman saat aku mengetahui betapa terdzaliminya umat Islam di sana melawan para zionis yahudi. tentu tak hanya menjadi petugas kesehatan yang ku lakukan, tapi…. aku ingin bisa menghapus air mata mereka dengan darahku!
Kak Farhan…
Jika Allah meridhai dan kau berkenan, izinkanlah aku untuk menjadi bidadarimu ketika Allah kumpulkan kita semua dalam tempat yang tiada tara keindahannya. Karena dengan itu aku bisa memilikimu seutuhnya dan selama-lamanya…
Kak Farhan..
Kumohon bersedialah untuk menikahi kakakku, karena suatu malam aku pernah melihatnya menangis saat kau datang melamarku. Aku tahu, ikhwan yang baik seperti dirimu tak kan mmeilih seorang akhwat pendamping hidupnya hanya karena didasari oleh cinta hawa nafsunya. Sampaikan sujud permohonan maafku pada keluargamu, kak….
Dari seorang wanita yang penuh dosa
aRa
Aku Selalu Suka..
15 tahun yang lalu